Ada dua rasa yang hilang ketika saya kembali ke Jakarta; aman dan percaya.
Kedua hal itu adalah sangat saling bergantungan satu sama lain, rasa aman dimulai dengan kepercayaan.
Semuanya dimulai ketika saya dengan noraknya ingin bergaya ala bule, yaitu berjalan dengan memakai mp3.
Ketika saya melontarkan ide itu kepada kakak ipar saya, dia segera menghalangi rencana saya.
" Heh? nanti dijambret loh kamu," serunya yang dengan segera mendemotivasi niat saya itu.
Karena takut kualat, akhirnya saya mengurungkan kemewahan sederhana yang -ternyata- hanya bisa dinikmati di negara-negara maju dan aman. Agak kecewa memang, karena toh buat apa saya punya mp3 kalau saya tidak bisa pakai ketika saya berjalan kaki. Masa saya pakai di mobil? kan mobil sudah punya radio sendiri. Mau pakai di Mall? Aduh, kurang kerjaan banget ya?
Cerita yang lain, ketika saya sedang memasuki Zara yang sedang diskon besar-besaran itu,
saya heran, karena ternyata kamar pasnya selama diskon tidak boleh dipakai.
Tetapi yang saya lebih terkejut adalah tanda besar-besar yang bertulisan "NO REFUNDABLE" di dekat kasir.
Bayangkan ini, pembeli tidak diperbolehkan mencoba baju di kamar pas, DAN semua barang yang sudah dibeli tidak bisa ditukar atau dikembalikan dalam bentuk apapun. Ya ampun! rasanya semua hak yang semestinya didapatkan oleh seorang pembeli itu tidak ada sama sekali.Kita tidak berhak mencoba dan kita juga tidak berhak untuk menukar apabila barang itu tidak cocok oleh kita.
Tetapi tentu saja, antrian kasir di Zara tetaplah panjang. Artinya semua orang tidak peduli,
atau mungkin mereka punya banyak uang untuk dihamburkan. :p
Saya bertanya-tanya, apa yang menyebabkan si pemilik toko melakukan itu. Apakah dia tidak percaya dengan kejujuran para pembelinya atau ada alasan lain? Walau apapun itu, saya rasa dalam hal initidak ada pihak yang merasa dirugikan -kecuali saya- karena tetap banyak orang yang datang,
Pernah juga, saya mendapat pandangan khawatir dari saudara-saudara sepupu saya ketika saya melintasi jalan di daerah blok m dan melawai. Memang seh, saat itu malam hari dan terlihat banyak anak-anak muda yang terlihat gembel, duduk disekitar sana. Mereka heran karena saya tenang saja lewat jalan sana, padahal mereka terlihat sangat takut. Saya cuman bengong dengan ketakutan mereka. Saat itu, saya cuman percaya bahwa anak-anak muda itu tidak akan macam-macam dengan saya.
Juga perlakuan salah satu tante saya yang menyuruh saya cepat-cepat mengusir pengamen di depan rumah.
Kata tante saya, bisa saja pengamen itu sedang mengamati rumah kita, untuk melakukan niat buruknya.
Yang lucu lagi, anak-anak tante saya setiap bermain harus diikuti dengan seoran babysister karena ibunya takut anak-anak itu diculik. Er....
Curiga, curiga dan curiga. Rasanya kata-kata itu adalah hembusan nafas sehari-sehari di ibukota ini.
Memang curiga bukan hal yang buruk, tetapi kalau kebanyakan juga tidak baik.
Saya rasa rasa 'percaya' yang hilang itu erat kaitannya dengan perlakuan orang Indonesia sendiri yang tidak mendukung pertumbuhan rasa percaya ini. Contoh simplenya, saya agak susah percaya pada orang yang memakai sorban, berjangggut dan memakai peci adalah orang yang alim dan baik.
Bagaimana saya bisa percaya, kalau sering kali saya melihat, orang-orang berkostum tersebut, menaiki motor, membawa bendera afilasinya, tanpa helm dan ngebut dijalanan bersama kelompoknya di malam hari. Sangat mengganggu.
Apakah rasa alim dan sopan yang bisa saya dapatkan dari pemandangan itu?
Memang, saya tidak bisa memukul rata bahwa semua orang-orang tersebut jelek, cuman,
saya kehilangan rasa 'percaya' untuk menganggap bahwa image itu adalah image yang
selalu alim dan sopan.
Sama halnya, dengan janji-janji para pemimpin. Bukankah sekarang rakyat sedang mengalami sebuah krisis kepercayaan kepada pemerintah? Buktinya, saya tidak melihat figur 'pemimpin idaman' muncul dalam Pemilihan Presiden kali ini.
Krisis 'image' yang paling parah dan paling menyedihkan adalah image kita terhadap polisi Indonesia.
Jujur saja, apakah pernah kita merasa aman, nyaman, terlindungi ketika mobil kita bersisian dengan mobil polisi? Atau melihat kantor polisi?
Yang ada, mungkin, image polisi yang suka tiba-tiba menyegat kita, melanggar dan harus diberi 'uang diam' agar kita bisa kembali melanjutkan perjalanan. Kita pun menjajarkan orang yang -seharusnya- berprofesi mulia itu dengan preman pemalak jalan.
Apa yang salah dengan Jakarta? Apa yang salah dengan masyarakat kita?
Saya rasa, kalau kita bisa mulai menanamkan rasa percaya kepada lingkungan kita, negara kita,pemerintah kita, orang-orang disekitar kita, keadaan bisa jauh lebih baik. Tetapi juga harus dilaksanakan dengan disiplin dan tanggung jawab terhadap lingkungan dan diri sendiri. Saling berkenalan dan silahturahmi, bisa menmupuk kepercayaan seseorang terhadap lingkungannya.
Yang jadi masalah, di tengah kesibukan masyarakat dari pagi hingga malam, apakah mereka punyawaktu untuk bersilahturahmi dengan tetangga?
Tetapi memang tidak sesederhana itu, bahkan masalah ini terlalu kompleks, sudah mengakar, dan akan sangat sulit untuk diubah. Pertanyaan selanjutnya adalah inginkah kita selalu begini?
Wimar benar, Indonesia bukanlah negara untuk mereka yang menginginkan hidup damai dan tenang. Atau dalam kasus ini, Jakarta.
1 comment:
katanya sih, jakarta tidak berubah. tapi kita yg habis dari luar yg 'berubah'. :)
Post a Comment