Sunday, January 09, 2011

Percakapan di balik jendela


I. Hujan

“Bukankah suara hujan itu menyenangkan?”

kataku sambil menambahkan gula ke teh melati yang baru saja kutuang dari tekonya.

Dahinya mengeriyit, bibirnya menyeruput kopi pahit kesukaanya.

” Hujan itu cuman membawa masalah, kamu tahu kan banjir badang yang menimpa wasior dan kemacetan yang timbul karena air-air tergenang di Jakarta,”

Aku tiba-tiba membayangkan ketika aku terjebak 3 jam di jalan, karena hujan tiada henti di Jakarta Jumat malam.

” Ya tapi, memang kamu tidak merasa damai seperti ini, kita duduk di ruang tamu kita yang hangat, sambil meminum kopi dan teh kesukaan kita, mengobrol, sambil mendengar suara hujan di luar. Ketika hujan berhenti, kamu sendiri mengakui udara nya sangat segar,”

Dia melirik aku sesaat, melihat derai hujan di luar jendela apartment kami, kemudian dia menyandarkan punggungnya ke sofa biru laut, dan matanya memejam menikmati suara hujan yang teratur.

Aku melihat damai di tubuhnya. Aku lalu mengikutinya.

Kami berlama-lama seperti itu, sampai kudengar dengkur halus darinya, aku terbangun.

Hujan di luar sudah berhenti, aku membuka jendela untuk memasukkan udara segar, kemudian aku menghela nafas pelan, dari jendela lantai 18 kami, bisa kulihat antrian panjang mobil di jalan protokol jakarta bawah sana dan suara klakson yang bersahutan menggantikan suara hujan yang damai.

II. Minggu Pagi

” Aku suka minggu pagi,”

” Kamu selalu membuka percakapan dengan apa yang kamu suka dan tidak kamu suka ya,” katanya seperti biasa dengan nada sinis.

Aku melirik dia sekilas, dia sedang asyik memegang remote untuk mengganti saluran TV.

” Enak bukan, hari minggu pagi adalah hari setelah kamu libur sehari di hari sabtu, tidak lelah karena pekerjaan, dan masih ada waktu sehari sebelum kamu kembali bekerja,” jelasku santai.

” Dan lagipula” lanjutku, sambil berdiri dan melirik pemadangan jalanan protokol dari jendela apartmentku, ” Jalanan hari minggu pagi selalu sepi, seolah-olah hanya minggu pagi lah penghuni Jakarta benar-benar istirahat,”

” Hari untuk keluarga,” tambahnya. Akhirnya dia memutuskan untuk menonton kartun anak kecil gempal yang sangat nakal tapi lucu itu.

Aku mengangguk setuju, kembali duduk disebelahnya.

” Asal hari minggu pagi tidak cepat-cepat berubah jadi senin pagi,” katanya setelah beberapa saat.

Tiba-tiba bayangang pekerjaanku menari-nari di kepalaku.

Ah, budak Jakarta.

III. Bahasa.

” Aku rasa, semua orang daerah yang pindah Jakarta, kehilangan identitasnya,”

”Maksudnya?” tanyamu, matamu tetap fokus melihat ke layar dan jarimu menari-nari di atas layar flat gadget termuktahir itu.

” Mereka semua berusaha keras menghilangkan dialek mereka, dan mulai berbicara dengan menggunakan lo-gue-lo-gue,”

“ Kenapa juga mereka harus begitu?” katamu tanpa menoleh sama sekali ke arahku.

” Yah kalau tidak, orang sepertimu akan menertawakan dialek mereka,” seruku cepat.

Tiba-tiba teringat dia yang selalu tertawa kalau aku mulai berbica lo-gw dengan teman-teman kerjaku.

Spontan kamu tertawa, wajahku semakin merengut.

“Benar juga... Eh, tapi kalau aku lagi di daerahmu, aku juga selalu jadi bulan-bulanan karena aku tak bisa bahasa daerahmu, sama aja kan.... ”

Benar juga yah, kataku dalam hati. Bibirku kembali tersenyum.

” Yah Jakarta itu ibu kota. Siapa yang menguasai Jakarta berarti menguasai Indonesia, kecuali,.. kalau Jakarta jadi pindah ke Jonggol, baru deh kita pakai bahasa Sunda,” lanjutmu mencoba beropini.

” Eh, tapi ga mungkin deh, semuanya pasti akan tetap pakai bahasa Jakarta,” tambahmu cepat.

Aku kembali merengut sambil berjalan berlalu menjauhimu.

9-1-11
Sudah lama tidak menulis, apalagi berprosa.
Mencoba langsung membuat 3 prosa dari ide-ide sederhana.
Semoga Anda suka. :)
photo credited by Michael Slonecker

No comments: